BAHAGIA YANG SESUNGGUHNYA

Membangun sebuah mindset bahwasanya kebahagiaan dengan sesuatu yang kekal / sesungguhnya, yaitu bahagia ketika sholat, senang ketika membaca al-qur’an senang ibadah maka itulah bahagia yang sejati.

karena kebahagiaan di saat makan, minum ataupun healing yang berhubungan dengan dunia, itu hanyalah kebahagiaan yang semu atau fana (tidak kekal).

Siapa saja mencintai sesuatu yang langgeng maka langgeng pula kebahagiaannya.

Akhirat sebagai tujuan kebagahiaan yang sesungguhnya

Kita sebagai manusia yang di kasih kesempatan hidup di dunia untuk beribadah hanya kepada allah, mempunyai tujuan yakni bahagia tidak hanya di dunia akan tetapi bahagia juga di akhirat.

Dunia yang Fana

dunia ini hanyalah tempat persinggahan. Setiap insan mempunyai porsinya masing masing, semua akan meninggalkan dunia pada waktu yang telah di tentukan oleh sang khalik. Maka dengan bekal yang cukup, kita siap dipanggil kapan saja.

Orang yang berakal (dalam perspektif ilmu tasawuf) adalah siapa saja yang  mampu memahami kehidupan akhirat dan bahagia dengan

kehidupan akhirat daripada dirinya bahagia dengan sesuatu yang rusak yaitu dunia.

Jikalau dunia itu adalah fana atau rusak sedangkan akhirat itu kekal dan langgeng, maka tidak sepatutnya bahagia dengan dunia karena kerusakan yang pasti terjadi.

Berikutnya akan muncul statement “siapa saja yang bahagia terhadap sesuatu yang rusak,

maka rusaklah kebahagiaannya  itu dan tidak ada bekasnya sama sekali dengan kebahagiaan yang rusak itu.”

Berikutnya “siapa saja yang bahagia terhadap sesuatu yang langgeng, maka langgeng pula kebahagiaanya.”  Yang terakhir inilah statement kebahagiaan yang sebenarnya.

Kesimpulan dari hikmah ini bahwasannya “Orang yang berakal adalah orang yang mampu menjadi zahid (proporsional terhadap dunia;

yaitu tetap memiliki dunia secara lahiriyah namun hatinya tidak pernah tergantung dengan dunia ini).

Harta bukan tolak ukur kebahagiaan

Artinya mobil, motor dan harta benda lainnya yang kita punya bukanlah sesuatu yang segala galanya, itu semua hanyalah titipan.

Jadi  mentalitas yang harus kita bangun ialah hati yang siap untuk di tinggal atau meninggalkan harta atau benda (dunia) kapan saja,

suatu saat harta benda itu akan di ambil pemiliknya dan suatu saat diri kita jiwa raga kita ini akan kembali kepa sang pemilik.

Ibarat kita di jalan tol (dunia) kita punya tujuan dan kita berhenti di rest area(rumah),

rumah yang kita tempati sekarang hanyalah tempat persinggahan sementara.

Perkataan Imam syafii yang di kutip oleh imam gozali dalam ihya ulumuddin  berkata bahwasannya  zuhud bukan berarti tidak memiliki apa apa,

zuhud itu boleh memiliki apa apa, tetapi yang namanya zuhud itu “hati yang kosong hati yang tidak tergantung dengan yang ada”. Jadi zuhud itu lebih kepada proporsionalitas.

Kesimpulan

Kesimpulannya : apa itu bahagia sejauh mana kita bahagia dengan ibadah kita kepada allah. ibadah kita kepada allah melalui manusia,

semua orientasinya ketika adalah ibadah  sebagai bentuk penghambaan diri kepada allah  sebagai persiapan akhirat, itulah yang di namakan kebahagiaan yang sejati.

Sesungguhnya orang yang berakal itu adalah orang yang zahid (proporsionalitas/orang yang tidak bertumpu pada sesuatu yang fana).