Karakter dalam ajaran Islam, khususnya yang termuat dalam Al-Qur’an dan Sunnah terdapat nilai-nilai asasi karakter yang universal dan mampu menaungi berbagai ragam perbedaan, termasuk perbedaan ras, bangsa, bahasa dan perbedaan-perbedaan lainnya salah satunya tawadhu.
Tawadhu Secara etimologi, kata tawadhu berasal dari kata wadh’a yang berarti merendahkan, serta juga berasal dari kata “ittadha’a” dengan arti merendahkan diri. Di samping itu, kata tawadhu juga di artikan dengan rendah terhadap sesuatu.
Tawadhu Menurut Ahli
Menurut Purnama Rozak nilai-nilai asasi dalam Islam tidak akan berubah, namun dalam teknik operasionalnya nilai-nilai itu akan berkembang dan beradaptasi dengan kondisi ruang dan waktu di mana nilai itu di implementasikan.
Hal seperti ini bukan berarti mereduksi posisi ajaran Islam sebagai agama, justru hal itu akan dapat memperkuat ajaran agama Islam karena nilai-nilai esensinya dapat membumi dan dapat di realisasikan oleh pemeluknya untuk misi rahmatan lil ’alamin.
Namun persoalannya adalah bagaimana kita mendesain rumusan karakter yang mudah untuk di implementasikan dan dapat di ukur penerapannya, sehingga nantinya dapat di jadikan sebagai norma baku yang menjadi standar dalam menentukan baik-buruknya karakter individu.
Tentu saja hal ini tidaklah mudah, karena karakter individu sesungguhnya merupakan cerminan dari apa yang ada dalam individu tersebut.
Dengan segala keunikannya, individu dapat mengekspresikan apa yang menjadi kekuatannya.
Namun, proses aktualisasi potensi diri bagi individu harus mampu memilah dan memilih mana yang perlu di aktualisasikan dan mana yang perlu di kendalikan. Diantara karakter yang perlu di kendalikan oleh individu adalah sikap tawadhu.
Alex Sobur, mendefinisikan sikap sebagai suatu kecenderungan dalam bertindak, berpikir dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi, ataupun nilai. Sedangkan menurut Achmad Marimba, sikap merupakan suatu pandangan, tanggapan, pendirian seseorang terhadap suatu masalah yang masuk kedalam jiwanya. Dengan demikian, dapat di pahami bahwa sikap merupakan respon seseorang dalam bertindakan dan berpikir sebagai tanggapan atas suatu kejadian tertentu.
Sedangkan Tawadhu secara terminologi (sebagaimana yang di sampaikan oleh Imam al-Ghozali), adalah mengeluarkan kedudukan kita dan menganggap orang lain lebih utama dari pada kita.
Dari definisi di atas, dapat di pahami bahwa sikap Tawadhu merupakan kecenderungan seseorang untuk tidak bersikap arogan dan merasa paling benar (sombong), tetapi lebih menganggap bahwa orang lain lebih baik dari pada dirinya.
Caraya agar terhindar dari sikap sombong dan mengimplementasikan sikap Tawadhu
Untuk mengetahuinya, marilah kita fahami maqolah-nya Syekh Abdul Qodir al-Jailani yang
di kutip oleh Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitab Nashoihul’ibad berikut:
- “Bila engkau bertemu dengan seseorang, hendaknya engkau memandang dia itu lebih
utama daripada dirimu dan katakan dalam hatimu: “Boleh jadi dia lebih baik di sisi
Allah daripada diriku ini dan lebih tinggi derajatnya.” - “Jika dia orang yang lebih kecil dan lebih muda umurnya dari pada dirimu, maka
katakanlah dalam hatimu: “Boleh jadi orang kecil ini tidak banyak berbuat dosa
(bermaksiat) kepada Allah sedangkan aku adalah orang yang telah banyak berbuat
dosa (maksiat), maka tidak diragukan lagi kalau derajat dirinya jauh lebih baik
daripada aku.” - Bila dia orang yang lebih tua, hendaknya engkau mengatakan dalam hati: “Orang ini
telah lebih dahulu beribadah kepada Allah dan lebih banyak ibadahnya daripada
diriku.” - Jika dia orang yang alim, maka katakan dalam hatimu: “Orang ini telah di beri oleh
Allah sesuatu yang belum aku raih, telah mendapatkan apa yang belum kudapatkan,
telah mengetahui apa yang belum aku ketahui, dan secara otomatis dia mampu
beramal dengan menggunakan ilmunya lebih banyak dari kita.” - Bila dia orang yang tidak berilmu, katakan ada dalam hatimu: “Orang ini bermaksiat
kepada Allah karena ketidaktahuannya, sedangkan aku berbuat maksiat kepada-Nya
padahal aku mengetahuinya. Aku tidak tahu dengan apa umurku akan Allah akhiri
atau dengan apa umur orang yang tidak berilmu itu akan Allah akhiri (apakah dengan
khusnul khatimah atau dengan su’ul khatimah).” - Bila dia orang yang kafir, maka katakan dalam hatimu: “aku tidak tahu bisa jadi dia
akan masuk Islam, kemudian mempunyai amal baik di akhir hayatnya, dan mungkin
saja aku akan menjadi kafir, kemudian aku mempunyai amal buruk di akhir hayatku.”
Penutup
Hal ini menunjukkan bahwa jangan sampai kita rajin dan sibuk melihat dan mengurusi
kekurangan orang lain hingga membuat kita lupa berkaca pada diri sendiri yang juga penuh
dengan kekurangan, dan sikap Tawadhu (merasa tidak paling benar dan lebi baik dari orang
lain) adalah kuncinya.
Dengan demikian, marilah kita pahami bersama bahwa ketika jari telunjuk kita arahkan
kepada saudara kita yang kita anggap salah, tidak suci, lebih berdosa, kurang beriman, dan
di anggap tidak pantas masuk surga sejatinya ada empat jari lain yang mengarah ke diri kita
sendiri.
Sedangkan keenam nasihat di atas adalah salah satu cara dalam
mengiplementasikan sikap Tawadhu dalam kehidupan sehari-hari.
Semoga Allah SWT senantiasa menjaukan kita dari sikap sombong, dan memberikan
kemampuan untuk dapat mengamalkan sikap Tawadhu.
Wallahu A’lam
Referensi:
Kitab Nashoihul’Ibad, karya Syekh Nawawi al-Bantani
Kitab Ihya Ulumuddin Jilid III, karya Imam al-Ghozali, terj. Muh Zuhri
Buku Psikologi Umum, karya Alex Sobur
Buku Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, karya Achmad D. Marimba
Jurnal Madaniyah, Volume 1 Edisi XII Januari 2017, Indikator Tawadhu dalam Keseharian, yang di tulis oleh Purnama Rozak
Leave a Reply