Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengharamkan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) sebagai pedoman. Apa alasannya?
Dalam era teknologi yang semakin maju, kecerdasan buatan atau AI telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan kita. Dari pesawat terbang otomatis hingga asisten virtual di ponsel pintar, AI telah membantu mempermudah banyak aspek kehidupan kita. Namun, tidak semua orang melihat kecanggihan teknologi ini dengan mata yang sama.
Baru-baru ini, PBNU mengumumkan keputusan mereka untuk mengharamkan penggunaan AI sebagai pedoman di dalam organisasi mereka. Mengapa PBNU sampai mengambil langkah sebesar ini? Pembatasan ini berdasarkan pada beberapa pertimbangan yang disampaikan oleh Ketua Komisi Bahtsul Masail Waqiiah Munas Alim Ulama dan Konbes NU, Kiai Hasan Nuri.
Alasan PBNU Menolak Kecerdasaan Buatan
Salah satu alasan utama mengapa PBNU menolak menggunakan AI sebagai pedoman adalah karena keterkaitannya dengan pertanyaan kepada AI. Menurut Kiai Hasan Nuri, banyak orang yang mulai menganggap AI sebagai sumber pengetahuan yang mutlak dan layak dijadikan panduan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka cenderung mengandalkan AI dalam mengambil keputusan tanpa melibatkan pertimbangan moral dan etika manusia yang seharusnya ada dalam setiap uji coba keputusan.
“Kami mengakui kehebatan kecerdasan buatan, tetapi kami tidak ingin mengabaikan aspek kemanusiaan dalam proses pembuatan keputusan,” ujar Kiai Hasan Nuri dalam pernyataannya. Menurutnya, keputusan-keputusan penting dalam kehidupan haruslah melibatkan pertimbangan manusia yang mampu memahami konteks sosial, budaya, dan religius yang ada di sekitarnya.
Tetapi, alasan tersebut sebenarnya masih jauh dari cukup bagi PBNU. Ada satu alasan lain yang lebih dalam yang mendasari larangan penggunaan AI dalam organisasi mereka. Rasanya seperti halusinasi ketergantungan kepada informasi yang bersumber dari AI tersebut.
Tidak menepis kenyataan bahwa AI memiliki kapasitas untuk mencapai tingkat kecerdasan yang luar biasa. Dengan algoritma yang canggih, AI mampu memproses dan menganalisis data dalam jumlah besar dengan cepat dan akurat. Namun, perkembangan ini bukan tanpa konsekuensi. Banyak perusahaan berlomba-lomba menghasilkan AI yang lebih canggih, sehingga muncul risiko tergantung pada informasi dari AI tanpa kritis mempertimbangkan sumber dan validitasnya.
Kekhawatiran PBNU
Mengingat kekhawatiran itu, PBNU ingin memastikan bahwa mengambil keputusan-keputusan dalam organisasi mereka berdasarkan pada pemahaman mendalam yang lebih luas dari sekadar informasi pemberian dari AI. Mereka percaya bahwa konteks sosial, budaya, dan religius yang kaya dalam pemikiran manusia tidak dapat tergantikan oleh kecerdasan buatan.
Hal ini mengingatkan pada filosofi dan pandangan yang sama yang telah dianut oleh NU selama bertahun-tahun. Yaitu pandangan yang holistik tentang kehidupan dan keberagaman manusia. PBNU ingin memastikan bahwa keputusan dan pedoman yang diambil dalam organisasi mereka tetap menghargai dan memperhitungkan berbagai perspektif dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.
Bagaimanapun, penggunaan AI sebagai pedoman tetap akan berguna dalam beberapa aspek dalam organisasi. Meskipun PBNU tidak mengharuskan penggunaannya dalam pengambilan keputusan penting. Akan tetapi Ai juga bisa sebagai alat bantu untuk pengumpulan data dan analisis.
Dalam menghadapi perkembangan teknologi yang semakin cepat. PBNU ingin memastikan bahwa mereka tetap mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan dan menekankan pentingnya kesadaran, pertimbangan, dan etika manusia dalam kehidupan sehari-hari. Menolak penggunaan AI sebagai pedoman adalah langkah dalam mempertahankan keunikan dan kompleksitas kemanusiaan dalam pengambilan keputusan yang esensial.
Leave a Reply