Yang Hilang Pada Generasi Kita

(manakala kau sanggup menyanggul kembali keindahan yang diasingkan. Tidak ada sebaik cinta Sang Pencipta yang menggetarkan hatimu untuk merasa setiap keberadaan dan keadaan)

Betapa memilukan, tatkala seluruh klub di semesta ini, berlaga ingin mengangkat piala ukhrawi, ehh catatan akhir klasemen, malah menempatkan klub bani Adam sebagai tim yang terdegradasi abad ke-21 ini, serupa Persipura dikenal sebagai raksasa sepak bola Nusantara berasal dari tanah Papua, terdegradasi ke Liga 2.

Mungkin saja, klub bani Adam berupaya meniru laga Vietnam vs Thailand beberapa pekan lalu di piala AFF U-19 yang dianggap netizen sebagai sepak bola gajah. Apapun pertandingannya, catatan akhir klasemen mewartakan bani Adam gagal mengangkat piala ukhrawi, hanya bangga mendapatkan trofi duniawi.

Trofi duniawi, pada mulanya disediakan sebagai ajang yang bisa mengobarkan semangat klub bani Adam untuk mengangkat piala ukhrawi. Walakin, ternyata tidak terbukti. Mereka hanya hanyut dalam euforia kebahagiaan yang semu selepas mendapatkan trofi duniawi, kebahagiaan yang fatamorgana, semakin didekati ternyata bukan apa-apa, bahkan semakin tidak nyata kemudian hilang tertelan masa.

Beginilah potret generasi muda hari ini, mendegradasi identitas kemanusiaannya. Generasi muda sudah dalam posisi sangat menyedihkan, gegara mereka bisa disetir oleh seperangkat peranti mekanik yang dikonsumsi setiap hari. Teknologi yang harusnya melayani manusia, berbalik arah menjadi manusia melayani teknologi.

Teknologi semakin menggelapkan hati manusia. Kemajuan yang mereka capai ternyata menjauhkan mereka dari Sang Pencipta. Kemajuan kiwari ini, justru menggiring manusia pada kesombongan. Padahal, jubah kesombongan hanya layak disandang oleh Sang Pencipta.

Puncak dari kesombongan ini, menjadikan manusia lenggak-lenggok berkuasa dan berceloteh bahwa keberhasilan yang mereka capai, tidak ada campur tangan Sang Pencipta. Keyakinan seperti ini,  menjadi perkara yang sangat berbahaya bagi umat manusia, dari balita sampai manula. Sehingga perlu melakukan perenungan kembali untuk memperbaiki situasi negeri yang telah tergerus oleh apa yang disebut sebagai budaya mainstream.

Budaya mainstream ini sudah menjamur di masyarakat, mungkin dianggap umum dan wajar. Budaya ini sangat mengagungkan peran manusia. Hingga nampaklah di pelupuk mata, sirnanya dimensi sakral kehidupan manusia di negeri ini karena kemiskinan kepada Yang Suci.

Kiwari, kita menyaksikan daya tarik amat besar kalangan muda di persada bumi ini dari apa yang disebut Citayam Fashion Week. Sebuah fenomena yang menggelitik, menarik perhatian seantero jagat maya. Mempertontonkan sekumpulan remaja tampil dengan busana ala kadarnya.

Mereka menjadi sensasional bagi warganet usai melakukan peragaan busana dengan memanfaatkan zebra cross sebagai panggung parody catwalk-nya. Namun, siapa sangka, panggung itu juga dijajal oleh  model professional, bule, artis tanah air sampai para pejabat.

Fenomena ini telah memunculkan ambiguitas baru dalam penamaan SCBD, yang sebelumnya dikenal dengan nama Sudirman Central Busines District berubah paras jadi Sudirman Citayam Bojonggede Depok.

Peristiwa yang menurut saya tak maha dahsyat ini, mencerminkan kebebasan generasi muda terhadap batasan dan mobilitas serta pernyataan kemerdekaan individu terhadap norma-norma sosial. Seperti halnya Jeje Slebew dkk, kekaguman mereka terhadap gaya hidup modern seperti ini, sebenarnya memancar dari Barat ke seluruh dunia. Mereka dibombardir oleh meriam budaya modern melalui gadget dan bentuk transmisi media massa lainnya.

Ketika beberapa dekade berlalu, perubahan bukan hanya sebatas berlanjut dan bertahap, melainkan semakin dipercepat dengan bantuan semua peran media yang saling mengisi satu sama lainnya. Kepesatan perubahan ini dapat dilihat dalam gaya busana manusia kiwari ini, tampil dengan gaya parlente, kehidupan glamor, dianggap sebagai seni modern, semuanya berlari secepat pacuan kuda dalam waktu yang singkat.

Akibat dari gaya hidup modern ini, ‘habis gelap terbit gelap lagi’. Muncul pemberontakan melawan generasi tua, jurang antargenerasi memisahkan banyak kaum muda dari orang tua mereka terutama di kota-kota besar pada negeri antah berantah ini.

Apatah lagi, ditambah fakta bahwa semakin banyak anak tumbuh dalam rumah dengan orang tua tunggal atau orang tua angkat, tidak mampu memenuhi otoritas kedua orang tua secara utuh, seringkali berlepas tangan terhadap tanggung jawab yang seharusnya mereka pikul seperti dalam keluarga tradisional yang mengajarkan nilai-nilai etika dan memberikan struktur pada kehidupan kaum muda. Akhirnya, anak muda harus merancang hidup mereka sendiri tatkala mereka bertarung dengan zaman yang sudah semakin buta.

Saya teringat dengan seorang pemikir yang memesona bernama Seyyed Hossein Nasr. Sedari kecil, ia sering terlibat diskusi dengan ayahnya, terutama tentang isu-isu filsafat dan teologi, apatah lagi ia memiliki akses bacaan yang sangat banyak. Semua itu berlangsung sejak 12 tahun pertama kehidupannya. Kondisi tersebut memberi pengaruh yang sangat signifikan terhadap pembentukan dan perkembangan intelektual Nasr. Nah, coba buka halaman 90-an dan 2000-an mu! Apa yang sudah kamu dapatkan pada usia 12 tahun itu?

Kaum muda hari ini tidak dapat memahami kehidupannya tanpa mempelajari secara mendalam peradaban-peradaban dunia, bahkan peradaban modern sekali pun. Bukan hanya berbagai aspek gaya hidup setiap peradaban, tetapi juga dampak gaya hidup ini yang sering menyusup tanpa sadar kepada kaum muda yang mungkin tidak disiapkan sepenuhnya untuk menanggapi tantangan-tantangan yang ada.

Tak kalah pentingnya, manakala mereka melakoni pengembaraan intelektual sebagai kaum muda, maka sangat indah membaktikan diri mereka kepada Sang Pencipta dan menyerahkan diri kepada kehendak Sang Pencipta. Sebab, kehendak Ilahi merupakan keputusan akhir yang selalu tertinggi.

Baca Juga : Pendidikan Rasa Ojol, Kurikulum Pasca Merdeka